Minggu, 25 Oktober 2009

Merupakan suatu perjuangan yang berat bagi Dominikus untuk mengendalikan pandangan matanya, karena perangainya yang lincah dan suka mengamati. Ia menceritakan kepada seorang teman bahwa pertama kali ia melatihnya, perjuangannya demikianlah hebat hingga membuat kepalanya sakit. Namun demikian, pada akhirnya, ia berhasil menguasai matanya sepenuhnya hingga mereka yang mengenalnya memberikan kesaksian bahwa tak pernah sekali pun Dominikus menggunakan matanya untuk melihat barang sekilas saja pemandangan yang tidak layak.

"Mata kita,” demikian katanya kepada teman-temannya, “adalah jendela. Seperti kalian hanya perlu melihat apa yang ingin kalian lihat lewat jendela, demikian jugalah dengan mata; mata akan menunjukkan kepada kita malaikat terang atau setan kegelapan, kedua-duanya berebut untuk menguasai jiwa kita.”

Suatu hari, seorang anak membawa ke sekolah sebuah majalah dengan banyak gambar-gambar tidak sopan. Sekejap saja anak-anak lelaki segera bergerombol di sekelilingnya ingin melihat juga gambar-gambar itu.

“Ada apa, ya?” Dominikus bertanya-tanya, dan ia pun pergi untuk melihatnya. Sekilas pandang saja sudah cukup baginya. Dirampasnya majalah itu dan dirobek-robeknya!

“Apa yang kalian pikirkan? Tuhan memberi kita mata sehingga kita dapat mengagumi keindahan karya-Nya; dan kalian menggunakannya, atau lebih tepat menyalahgunakannya, untuk melihat gambar-gambar yang mengerikan ini. Apakah kalian lupa akan apa yang sering dikatakan Tuhan: satu pandangan yang tidak benar saja dapat mengotori jiwa kita? Dan sekarang kalian memanjakan mata kalian dengan gambar-gambar cemar itu!”

“Oh,” protes seorang anak, “ini hanya sekedar untuk bersenang-senang.”
“Untuk bersenang-senang. Dan sementara itu kalian mempersiapkan diri kalian ke neraka!”

“Memangnya, apa sih salahnya melihat-lihat gambar ini?” protes teman yang lain.

“Bahkan lebih parah. Dengan tidak merasa bersalah, melainkan merasa diri benar, kalian telah memperbesar dosa kalian. Tidak tahukah kalian bahwa nabi Ayub, meskipun sudah tua dan rapuh, menyatakan bahwa ia mengadakan perjanjian dengan matanya agar matanya tidak memandang hal lain selain dari yang suci dan kudus?”

Tidak ada seorang pun yang berkata-kata lagi. Mereka semua sadar bahwa Dominikus benar.

Selain mengendalikan matanya, Dominikus juga menjaga lidahnya. Ketika orang lain berbicara, tak peduli pembicaraannya sesuai atau tidak sesuai dengan pendapat pribadinya, Dominikus selalu bersedia mendengarkan. Malahan seringkali ia menghentikan pembicaraannya sendiri untuk memberi kesempatan pada yang lain untuk berbicara. Lebih dari itu, jika seorang temannya mencari perkara dengannya, ia akan menahan diri dan menjaga lidahnya. Suatu hari, Dominikus mengingatkan seorang anak yang memiliki kebiasaan buruk. Bukannya menerima nasehat dan memperbaiki sikapnya, anak itu malahan marah, memaki, memukul-mukul serta menyepak Dominikus. Mudah saja bagi Dominikus untuk membalasnya karena dia lebih besar serta lebih kuat dari anak itu. Tetapi Dominikus memilih untuk memikul Salib Kristus. Meskipun wajahnya memerah, ia menguasai dirinya dan berkata:

“Kamu telah bersikap buruk kepadaku, tetapi aku memaafkanmu. Berusahalah untuk tidak bersikap demikian terhadap yang lain.”

Pada musim dingin, Dominikus menderita gatal-gatal pada tangannya. Bagaimanapun sakit rasanya, Dominikus tidak pernah mengeluh. Malahan, tampaknya ia bergembira karenanya. “Semakin besar,” katanya, “akan semakin baik bagi kesehatan,” dan `kesehatan’ yang dimaksudkan olehnya adalah kesehatan jiwa.

Di waktu luangnya, Dominikus membersihkan sepatu, menyikat baju teman-temannya, menyapu, melayani mereka yang sakit serta melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil lainnya dengan segala kerendahan hati:

“Semua orang melakukan apa yang mampu dilakukannya. Saya tidak mampu melakukan hal-hal yang besar, tetapi saya mau melakukan segala sesuatu, bahkan hal-hal yang remeh sekali pun, demi kemuliaan Tuhan; dan saya berharap dalam Belaskasih-Nya yang Tak Terbatas, Tuhan akan memandang dengan penuh belas kasih segala usaha saya yang tak berarti ini.”

Jadi, menyantap makanan yang tidak disukainya, mengorbankan apa yang disukainya, menjaga matanya dari pandangan yang tidak baik, mengorbankan keinginannya sendiri, rela menanggung penderitaan baik mental maupun fisik; hal-hal itulah yang menjadi laku silih Dominikus sepanjang hari dan setiap hari. Dengan penuh semangat ia rela mati bagi dirinya sendiri agar Kristus dapat tinggal di dalamnya. Dengan tekun Dominikus berusaha sebaik-baiknya, bahkan dalam kesempatan terkecil sekali pun, untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaannya di hadapan Tuhan.

DEVOSINYA KEPADA BUNDA MARIA

Dominikus memiliki devosi yang mendalam kepada Bunda Maria. Setiap hari ia melakukan laku silih untuk menghormatinya. Setiap kali memasuki gereja, Dominikus berlutut di altar serta berdoa,

“O, Bunda Maria. Aku berharap untuk selalu menjadi anakmu. Perolehkanlah bagiku rahmat agar aku lebih memilih mati daripada berbuat dosa dan melanggar kesucian.”

Satu tahun sebelum ajalnya ia berkata kepada Don Bosco:

“Romo, saya ingin melakukan sesuatu untuk Bunda Maria. Tetapi saya harus melakukannya dengan segera, karena jika tidak, saya takut semuanya akan terlambat.”

Maka atas persetujuan Don Bosco, Dominikus membentuk perkumpulan remaja yang diberinya nama “Persaudaraan Sejati dalam Bunda Maria yang Dikandung Tanpa Dosa”. Tujuan perkumpulannya adalah membantu teman-teman yang lain agar dapat lebih dekat dan akrab dengan Tuhan Yesus, sama seperti yang selalu dilakukan oleh Bunda Maria. Di samping kegiatan-kegiatan rohani, mereka menyapu, membersihkan sekolah serta memperhatikan anak-anak yang kurang diperhatikan oleh anak-anak lain. Perkumpulan itu berhasil, sampai sekarang masih ada dan berkembang.

Setelah kematiannya, Dominikus menampakkan diri kepada St. Yohanes Bosco, guru sekaligus romonya yang terkasih. Don Bosco bertanya kepadanya hiburan terbesar apa yang didapatnya saat kematiannya. Dominikus menjawab:

“Hiburan terbesar yang saya terima saat kematian saya adalah pertolongan dari Bunda Tuhan yang penuh kuasa dan kasih. Tolong sampaikan kepada teman-teman agar tidak lupa berdoa kepada Bunda Maria setiap hari sepanjang hidup mereka.”


AKHIR HIDUPNYA

Kesehatan Dominikus tidak pernah prima. Pada bulan Maret 1857 ia jatuh sakit dan dikirim pulang ke rumahnya di Mondonio. Kesehatannya semakin memburuk. Dokter menyatakan ia menderita radang paru-paru / Tuberculosis . Cara pengobatan pada masa itu ialah dengan merobek pembuluh darah dan membiarkan `kelebihan’ darah mengalir keluar. Dalam kurun waktu empat hari, dokter telah mengiris lengannya sepuluh kali. Bukannya menyembuhkan, mungkin hal itu malahan mempercepat kematiannya. Imam dipanggil untuk memberikan Sakramen Terakhir. Dominikus meminta ayahnya mendaraskan doa-doa bagi mereka yang menjelang ajal. Ketika doa hampir selesai didaraskan, Dominikus mencoba duduk.

“Selamat tinggal, ayah.” bisiknya, “Romo mengatakan sesuatu padaku...tetapi aku tidak ingat apa....”

Tiba-tiba wajahnya bersinar. Dominikus tersenyum bahagia serta penuh sukacita.

“Alangkah indahnya apa yang aku lihat!”

Kemudian Dominikus tidak berkata-kata lagi. Ia meninggal dengan tenang di rumahnya pada tanggal 9 Maret 1857 dalam usia empat belas tahun.

Jenasah Dominikus dimakamkan di Basilik Maria Pertolongan Orang Kristen di Turin, tak jauh dari makam pembimbingnya kelak, St. Yohanes Bosco.

Setelah kematiannya, St. Yohanes Bosco menuliskan riwayat hidup Dominikus sehingga gereja memproses kanonisasinya. Dalam sejarah gereja, Dominikus Savio merupakan orang kudus bukan martir yang termuda (belum genap 15 tahun) yang dikanonisasi.

Dominikus Savio dibeatifikasi oleh Venerabilis Paus Pius XII pada tahun 1950 dan pada tanggal 12 Juni 1954 dikanonisasi oleh Paus yang sama. Pesta St. Dominikus Savio dirayakan setiap tanggal 6 Mei. (dari berbagai sumber)

“Seorang remaja seperti Dominikus, yang dengan gagah berani berjuang mempertahankan kekudusannya sejak dari Pembaptisan hingga akhir hayatnya, adalah sungguh seorang kudus.” ~ Paus St. Pius X